$1.00

Perempuan Diujung Cakrawala
[eBookNovel]

Perempuan Diujung Cakrawala

BUKU BERBAHASA INDONESIA

Adalah eBook Novel:
Judul : Perempuan Diujung Cakrawala
Tebal : 117 halaman
Format : ebook dengan format .epub
Penerbit : Pitoyo eBook Publishing
ISBN : 978-979-17910-5-2
Penulis : Syamsi M Jafar

Cuplikan novel:



Sore. Rachma menunggu Farhan, sebentar-sebentar melihat jarum jam. Ia gelisah. Tapi Farhan tak suka ingkar janji. Walaupun terlambat ia tetap datang dengan membawa sebuah helm cadangan digantung di motornya. Wajah Rachma tak tegang lagi ketika melihat Farhan turun dari motor di halaman kos. Rachma bergegas keluar, melintas ruang tamu menjemput. Disitu Utari sedang baca menoleh.
“Ut, aku pergi dulu ya. Tuh, Farhan sudah jemput. Kalau ada yang cari, bilang pengajian.”
Helm yang sudah disiapkan segera dipakai. Tangan Rachma gemetar mengenakan helm. Lebih lagi ketika hendak bonceng. Seluruh tulangnya seperti tak bertenaga. Rasanya tinggal nyawa saja yang nempel. Ia bonceng memegangi pinggang malaikat yang ada di depannya. Farhan menghidupkan sepeda motor namun tak tahu harus kemana. Di jalan depan rumah kos, baru menanyakan.
“Aku bingung. Makan bakso saja, ya. Cari dekat masjid, sebentar lagi maghrib,” jawab Rachma.
Farhan putar kota membawa Rachma yang tak melepas pegangannya. Berhenti di depot bakso dekat masjid Gondomanan. Rachma setuju. Mereka masuk memesan dua mangkuk beserta minumnya. Selama menunggu Farhan tidak berani memandang wajah Rachma lama-lama. Sesekali melirik lalu dijatuhkan pandangannya ke obyek lain. Begitu pula dengan Rachma. Mereka merasa sama-sama salah tingkah. Suasana semakin sepi ketika menikmati jajanan bakso itu. Kadang saja bicara jika perlu. Seperti dua orang tunawicara sedang belajar ngomong. Hanya denting mangkuk terantuk sendok garpu yang sering terdengar. Suasana di luar depot semakin redup. Suara adzan maghrib bersahutan. Rachma menoleh kearah Farhan.
“Han, maghrib! Aku tunggu disini, ya,” hanya itu yang Rachma katakan. Lalu Farhan jalan kaki pergi ke masjid. Rachma menunggu sendirian di warung. Mengambil Hp dari dalam tas menelepon Luki.
“Luk! kamu di rumah ya?”
“Iya. Kamu?”
“Di bakso Gondomanan.”
“Eh! berani amat kluyuran hampir gelap begini.”
“Aku mau ke tempatmu. Enggaklah kalau aku nanti ganggu malam mingguanmu. Pukul tujuh aku cabut.”
“Kayak orang lain kamu ini. Sudah! cepat kemari!”
Seperempat jam kemudian Farhan kembali dari masjid. Makanan sudah dibayar Rachma. Mereka pergi ke rumah Luki. Luki seperti tidak percaya melihat Rachma bersama Farhan ada di depan hidungnya..
“Sekarang aku kalah total.” Bisik Luki.
“Memangnya apaan?”
“Pokoknya nanti malam aku call kamu. Jangan molor dulu.”
Rachma dan Luki bicara macam-macam tentang skipsi dan lain-lain. Farhan lebih banyak jadi pendengar. Pukul tujuh Rachma menepati janji, pulang. Di depan Luki, Rachma bonceng, tangan kanannya memegang pinggang Farhan. Luki masih terkesima melihat Rachma tak canggung. Tak sadar bibirnya terlukis sebuah senyum sambil melambaikan tangan.
Tak salah dugaan Rachma. Di depan rumah kos melihat Pak Beni duduk di ruang tamu ditemani Utari. Rachma minta Farhan berhenti di pintu pagar, tidak pulang dulu. Farhan faham, Rachma sedang dalam keadaan terdesak. Mereka berusaha menciptakan suasana seperti sedang berpacaran. Apa boleh buat. Meskipun sebenarnya Rachma malu karena takut bersalah. Namun tindakan itu harus ditempuh. Lalu apa yang harus dibicarakan? Rachma teringat Bu Nyai almarhumah. Berkisar kisah itulah yang dijadikan menu utama pembicaraan. Tentang Pondok Pesantren almamaternya dan apa-apa yang ada di kota Pacitan. Ternyata mereka mampu membuat suasana malam menjadi asyik. Dii depan pintu pagar yang berpenerangan lampu neon sepuluh watt.
Pukul delapan Pak Beni beranjak dari ruang tamu. Pulang melintas di depan mereka. Rachma menyapa dan Pak Beni dengan angkuhnya membalas lalu masuk mobil. Wajah Rachma seketika sumringah. Farhan bisa memahami hal itu, tugasnya sebagai pasukan tempur selesai. Segera pamit untuk pulang. Rachma tak mampu mencegah lagi. Tanpa sadar tangan Rachma memegang lengan Farhan yang siap menstater motornya.
“Han. Terimakasih, aku menyusahkanmu. Sampaikan maafku kepada Syifa. Aku tak mampu menceritakan semua ini. Dia terlalu baik.”
“Tidak apa-apa. Bisa membantu kamu sudah suatu kehormatan bagiku. Sungguh!”
Rachma membisu. Di kegelapan malam yang diterangi remang lampu pagar, Rachma memandang wajah Farhan dengan pandangan amat dalam. Itupun hanya sekejab lalu menunduk. Farhan menghidupkan mesin motornya dan berucap salam kepada Rachma yang termangu.
Rachma kembali kekamarnya merebahan diri di tempat tidur. Membayangkan betapa Farhan ikhlas kepadanya. Pemuda yang selalu menjaga dalam setiap bicaranya dan tidak suka neko-neko. Benar apa yang diucapkan bu Nyai almarhumah. “Tapi Farhan bukan milikku,” desahnya.
Pukul sembilan lebih duapuluh menit Hp Rachma berdering. Itu Luki.
“Belum tidur, Ma?”
“Belum.”
“Bayangin Farhan yang tadi, ya?” Olok Luki.
“Dikit, sih. Tapi malu rasanya.”
“Lho! malu sama siapa?”
“Ya sama oranglah, masa sama sapi. Eh, Luk! Rezki kamu tinggal telpon-telponan begini, kamu ini bagaimana,” balas Rachma.
“Dia sudah pulang. Tadi bilang mau tahlilan di rumah Budenya, ngajak aku. Aku enggak sreg rasanya, terus dia berangkat sendiri. Belum apa-apa mau dikenalkan famili. Malu, Ma! Tahan harga sedikit.”
“O, begitu. Malam minggu yang bengong, dong.”
“Ma, kamu tadi sore seperti bukan sobatku yang alergi lawan jenis lagi. Aku ngaku kalah.”
“Apaan? Memangnya ada kompetisi?”
“Huss! Seperti janjiku kemarin, besok kamu kutraktir sepuasnya.”
“O, itu! Yes! Thanks friend. Kamu kesini dulu ya.”
“Oke. Kita rayakan kemenangan bersama. Kamu yang sudah tidak alergi dan aku juga hmm…”


Pilihan yang tersedia:

Format:

Review
Penerbit
Cari Cepat
 
Gunakan kata kunci untuk mencari produk yang anda inginkan.
Pencarian Lanjutan
Tata Cara Pembayaran



nama akun:
author@pitoyo.com
Pitoyo Amrih
sehingga kami menerima
  


Atau

Kartu Kredit / Debit

via PAYPAL


Berbagi tentang produk
Share via E-Mail
Share on Facebook Share on Twitter
Bahasa
Indonesia English
Mata Uang
Iklan